top of page

Gunung Kembang, Si Anak Gunung Sindoro yang “Kecil-Kecil Cabe Rawit”

Melepas penat sebelum ujian menyerang adalah tradisi angkatan saya. Kami senang berjelajah, terutama yang berhubungan dengan alam. Setelah beberapa pertimbangan, pilihan pun jatuh ke Gunung Kembang. Petualangan kali ini pun menjadi momen pertama saya mendaki gunung.


ree

Gunung Kembang memiliki ketinggian 2340 MDPL. Meski terhitung pendek, jalur pendakian cukup curam, bahkan beberapa sangat curam. Oleh karena itu, sangat disarankan mendaki menggunakan sepatu yang tidak licin ketimbang memakai sandal gunung. Jika ditanya bagian landai dimana, bagian yang landai hanya ada di puncak gunung saja alias tidak ada “bonus”. Maka dari itu, tak salah jika ia dijuluki “kecil-kecil cabe rawit”.


ree

Nama Gunung Kembang pun mungkin masih asing didengar karena jalur pendakiannya sendiri resmi dibuka pada April tahun 2018. Basecamp resmi Gunung Kembang, Basecamp Blembem, terletak ditengah-tengah hamparan hijau kebun teh, tepatnya di di Desa Blembem, Kaliurip, Kertek, Wonosobo, Jawa Tengah. Untuk tiket pendakian dikenakan Rp20.000,00 per orangnya.


Kembang tidak hanya istimewa dengan panorama yang ia suguhkan, tetapi juga dalam pengelolaannya. Sesampainya di basecamp, pendaki akan diberi pengarahan perihal peraturan-peraturan untuk pendakian. Saya sebut istimewa pengelolaannya karena Basecamp Blembem terbilang ketat untuk perihal sampah. Guna menjaga asri Kembang, air botol kemasan dan tisu basah dilarang untuk dibawa keatas. Untuk mengganti air kemasan, pengelola menyediakan jerigen kira-kira 5 liter dengan harga sewa Rp10.000,00 yang nantinya bisa meminta uang kembali sebesar Rp8.000,00 sepulangnya dari pendakian. Air jerigen juga dibawa penuh dari basecamp karena sepanjang jalur pendakian sampai ke puncak tidak ada mata air. Setiap barang pun didata, sampai bungkus permen pun dihitung jumlahnya. Hal ini dilakukan karena saat turun dari pendakian, barang-barang akan diperiksa kembali oleh pengelola. Ada satu barang yang tidak ada akan dihitung pelanggaran dengan denda seharga Rp1.025.000,00. Jadi, bukan hanya “kecil-kecil cabe rawit”, Gunung Kembang juga pantas dijuluki “si ramah lingkungan”.


Basecamp Blembem – Istana Katak


Saya dan teman-teman memulai pendakian pada pukul 17.00 dikarenakan dalam perjalanan menuju Wonosobo, kami sempat terpencar dan sebagian rombongan pun tersasar. Berlima belas, kami menyusuri kebunteh dengan kabut yang sudah turun menuju Istana Katak. Saat itu kami diberi arahan ke jalur yang lebih pendek karena kabut cukup tebal, kira-kira jarak pandang hanya tiga meter saat itu sehingga rawan tersesat di perkebunan teh. Umumnya perjalanan menuju Istana Katak menempuh waktu 15-30 menit. Namun, karena sebagian dari kami adalah pendaki pemula, termasuk saya, waktu tempuh mundur menjadi 60 menit.


Istana Katak– Kandang Celeng


Hari sudah mulai gelap ketika kami sampai di Kandang Celeng. Dari pos ini lah perkebunan teh berganti menjadi hutan. Dinamakan Kandang Celeng karena di hutan tersebut masih banyak babi hutan. Dalam bahasa Jawa sendiri, celeng berarti babi hutan jadi kandang celeng mengartikan rumah para babi hutan. Waktu tempuh pun sama seperti pos sebelumnya, mundur menjadi 60 menit yang umumnya bisa ditempuh sekitar 15-30 menit.


Kandang Celeng – Liliput – Simpang Tiga – Akar


Dalam jalur pendakian hutan terdapat tiga pos, yakni Liliput, Simpang Tiga, dan Akar. Hutan Gunung Kembang termasuk hutan yang cukup rapat dengan jalur seperti tangga-tangga Candi Borobudur kalau saya ibaratkan, tangga-tangga tinggi dengan akar pohon yang melintang membuat pendaki harus lebih waspada, terlebih kami masuk hutan ketika malam tiba. Di pos-pos ini maupun diantaranya pendaki tidak boleh membangun tenda. Tenda baru boleh dibangun di Pos Sabana. Biasanya waktu tempuh setiap pos kira-kira 15-30 menit. Lagi-lagi, kami tidak bisa menempuh dengan waktu secepat itu jika melihat jalur sulit Gunung Kembang dengan keadaan sebagian dari kami adalah pemula. Maka dari itu, kami sampai pos akar pada pukul 22.00 atau dengan waktu tempuh kira-kira tiga jam dari Kandang Celeng.

ree

Akar – Sabana


Jangan bahagia dulu mendengar Pos Sabana karena sabana yang dimaksud adalah peralihan dari hutan menjadi alang-alang tinggi dengan kemiringan tanah yang semakin curam. Di Pos Sabana lah pendaki baru boleh membangun tenda karena tingkat keamanan dari serangan babi hutan lebih rendah dibandingkan di dalam hutan yang notabenenya adalah rumah mereka. Walaupun begitu, kita tetap harus waspada karena tidak menutup kemungkinan babi hutan berkeliaran sampai puncak gunung. Meski sudah diperbolehkan membangun tenda, saran saya kalau masih sanggup untuk mendaki ke puncak maka teruskanlah perjalanan. Tanah yang ada di Sabana hanya satu atau dua petak yang kuat dan landai untuk dipasang tenda. Dari Akar sampai Sabana kami mendaki dengan waktu tempuh 60 menit.

ree

Sabana – Tanjakan Mesra - Puncak


Dari Sabana ke Tanjakan Mesra tidak jauh sebenarnya, begitupun dari Tanjakan Mesra ke Puncak. Mungkin untuk waktu normal bisa ditempuh 30 menit- 45 menit. Namun karena fisik kami yang sudah lelah juga, waktu mendaki kami tempuh dua jam alias tiba di puncak pada pukul 01.00 dini hari. Tanjakan Mesra sama seperti Sabana, masih dengan alang-alang tinggi dengan kemiringan tanah yang curam. Hanya saja memang di jalur ini waktunya pendaki bermesraan dengan jalur Gunung Kembang yang satu ini.


ree

Ketika fajar datang, langit gelap berubah nila. Pelan-pelan mentari menyingsing dari timur dan menyinari kami dalam balutannya yang hangat. Sindoro dan Sumbing kokoh menjulang di depan Kembang. Ketika langit sudah semakin cerah, terlihat juga Merapi dan Merbabu dari kejauhan. Menengok ke barat kami juga bisa menyapa Prau dan Slamet dari kejauhan. Selain gunung-gunung, ternyata diantara Sindoro dan Kembang terdapat kawah mati yang disebut Bimo Pengkok.


ree


Biasanya orang tidak menyarankan pemula untuk mendaki Kembang karena jalurnya yang ekstrem meski ia termasuk gunung yang pendek. Namun dari pendakian pertama saya ini, saya belajar bahwa mendaki gunung bukan hanya perihal memilih gunung yang mana untuk didaki, tetapi siapa saja yang menemani mu mendaki. Terima kasih untuk Tedja, Nita, Alfa, Wiken, Vanessa, Rita, Saddam, Ojan, Ulfa, Ali, Musyafa, Brilly, Zac, dan Kalap. Tanpa kalian, saya si takut ketinggian ini, tidak akan berani sampai ke puncak pun juga karena kalian, saya tidak sabar berpetualang dengan gunung lainnya, tentunya bersama-sama dengan kalian.

September 2019

Dina Natasha

Comments


bottom of page